SELAMAT MILAD BUATMU!
SELAMAT MILAD BUATMU!
Aku tak tahu mengapa mulut ini sulit mengucapkan cinta. Banyak perempuan sepertimu berharap kata cinta. Aku yakin itu. Namun, lelakimu ini mungkin hanya pecundang. Pecundang untuk mengungkap rasa ini. Maaf, aku berbeda dengan lelaki lain. Oya, bagaimana kabarmu sekarang? Aku harap kau baik di sana. Banyak panggilan tak terjawab darimu. Banyak SMS-mu yang tak kubalas. Apakah aku malas? Bukan, ini karena kesibukan yang aku dapat. Lebih tepatnya mungkin karena aku sok sibuk. Biarlah. Jika itu pikirmu. Bukankah semua orang punya hak, termasuk kau memberikan penafsiran tentangku.
Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah teman kantormu masih sering mengganggumu untuk menjodohkan kau dengan lelaki di sana? Aku harap tidak. Kalaupun mereka masih mengganggumu maka berterima kasihlah kepada mereka. Mereka yang bisa mengisi hari-harimu dengan cara mereka. Walau aku tahu kau tidak senang, apalagi aku.
Mestinya kau harus bahagia hari ini. Usiamu kini bukan kategori muda lagi, tapi tak juga tua. Kematangan diri harus kau makin permantap. Maaf, aku tak bisa di sana, layaknya setahun lalu. Membawakanmu kue ulang tahun dan berucap Selamat Milad. Kau masih ingat itu? Aku harap, iya. Aku harus berjuang mendapatkan kue ulang tahun dan menjahilimu bahwa hari itu aku tak bisa datang. Kau pun kecewa. Jujur, saat itu aku memang masih ragu, apakah ada ‘mobil pete-pete’ ke tempatmu. Aku yang baru kali pertama ke sana membuatku harus agak bingung dengan tempat kerjamu. Waktu itu hujan, sulit mendapatkan mobil ‘pete’pete’, pikirku. Apalagi saat itu sudah menjelang magrib. Aku masih ingat perkataanmu, “ada dua terminal yang harus ‘kita’ (Anda) lalui.” Aku sempat bingung, apakah masih ada kendaraan setelah magrib menuju tempatmu. Mulai terminal satu, menuju terminal lain.
Sepertinya keberuntungan betul-betul berpihak padaku. Sisa satu mobil. Ya, satu mobil menuju ke terminal selanjutnya. Namun, tahukah kau, aku sempat ragu apakah masih ada kendaraan saat di terminal selanjutnya. Aku sempat ingin mencari wisma untuk istirahat. Pasrah. Mungkin itu lebih pantas di pikiranku. Tapi, keinginanmu yang ingin bertemu denganku memaksaku harus ke tempatmu. Kebetulan aku sedang lapar, aku pun menuju ke warung yang ada di terminal itu. Keberuntungan berpihak lagi padaku. Satu mobil yang berwarna putih itu masih ada di terminal. Sambil berjalan menanyakan siapa pemilik mobil itu? Ternyata dia sedang makan di warung yang aku tuju.
“Wolo?” tanyanya sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Iya pak.” jawabku dengan bangga.
“Bisaki menunggu dulu?” kata sopir itu.
“Oh iye, kebetulan saya juga mau makan.” kataku sambil tersenyum padanya.
“Mauki kemana?” tanyanya.
Kita tahu bank BRI di Wolo?
“Iye. Di bagian manaki mau turun di BRI?”
“Pas di depannya saja kita turunkanka!”
“Siapa di sana?” tanyanya lagi.
Aku jawab, “teman.” Sekenanya. Tapi dalam hati berkata yang lain. Kau tahu apa itu? Sudahlah. Aku tak berharap kau tahu dalam hati ini. Sambil bercerita pada sopir.
Aku tak tahu memberikanmu apa saat hari bahagiamu itu. Aku yakin, kau tak berharap sesuatu dariku. Kamu kan tahu aku tak romantis seperti kebanyakan lelaki lain. Misalnya bunga, coklat, atau apapun yang membuat para perempuan lain meleleh apalagi ditambah ucapan seseorang rasa cinta atau sayang.
Sekali lagi maaf, aku tak seperti mereka. Aku yang tak sanggup mengucapkan sayang ataupun cinta yang mungkin sampai hari ini masih kau harapkan dariku. Soal kue yang ingin ku bawakan. Aku hanya belajar dari siswaku. Ya, dari mereka bahwa kalau ada yang ulang tahun berilah dia kue yang bisa dirasakan oleh orang banyak. Aku sepakat. Akhirnya aku pun bertanya pada sopir itu.
“Pak, dimana ada penjual kue?”
“Kue apa itu? sopir itu balik tanya.
“Kue ulang tahun pak.” kataku sekenanya
“Aii, terlambatmiki, biasanya di sana” sambil menunjuk salah satu tempat yang membuatku aku sendiri tak paham tempat itu.
Sambil menikmati kopinya, pak sopir pun bertanya pada pemilik warung.
“Bu, di mana ada penjual kue ulang tahun?” sambil mengangkat kaki kanannya.
“Aii, sudah tutup. Atau cobaki di tempat yang mengarah ke timur.” sambil menunjuk dan mengucapkan nama tempat itu. Sekali lagi aku tak tahu nama tempat itu.
Oya, aku sempat menunggu beberapa jam karena sopir itu menunggu seseorang yang katanya dia punya piutang. Aku tak ingat berapa nominalnya.
Akhirnya, sopir itu pun menyuruhku untuk naik ke mobilnya. Kau tahu, aku duduk di mana? Iya, di depan kalau aku sendiri. Aku lebih senang di depan daripada di belakang. Kecuali kamu denganku, aku pasti akan ke belakang.
Mobil itu mulai dijalankan. Aku sudah dimenangkan oleh dua keberuntungan. Aku berharap yang terakhir ini pun dipenuhi oleh Tuhan. Mendapatkan kue ulang tahun untukmu.
Beberapa menit sopir itu pun memarkir mobilnya di depan penjual kue itu. Aku pun membuka pintu mobil menuju penjualnya. Tahukah kau, aku sempat melihat satu kue yang bagiku itu sudah cukup. Ternyata, kata penjualnya, kue itu adalah kue terakhir. “Subhanallah, Alhamdulillah, Wa laa ilaaha Illalloh, Wallohu Akbar”, ucapku dalam hati. Aku menyaksikan kuasa-Nya lagi malam itu. Tanpa pikir panjang dan tanpa tawar menawar aku pun langsung mengambil dompet yang ada di kantong celanaku. Dompet yang mungkin sudah lusuh. Itu hadiah darimu. Kau masih ingat itu? Mudah-mudahan iya. Tak lupa aku membeli lilin yang ada angka 26-nya. Wah, agak berbeda bentuknya. Tapi, itu saja sudah cukup. Aku pun berpesan kepada penjualnya untuk dituliskan ‘Selamat Milad Nirmala yang ke-26’. Penjual itu pun berkata bisa. Sangat sempurna, pikirku.
Sepertinya di hari miladmu itu sangat indah. Apakah kau masih ingat, kala di mana aku yang berkata bahwa aku tak bisa datang malam itu? Nada kekecewaan melalui darimu sempat terdengar. Aku tak ada niat sedikitpun untuk melakukan kebohongan. Ini murni atas nama settingan di acara miladmu.
Dalam perjalanan menuju tempatmu yang ternyata belakangan aku tahu agak butuh waktu satu sampai satu setengah jam. Sempat sopir itu membuatku keki. Kau tahu apa itu? Sopir itu bertanya padaku, “temanta’ cewek atau cowok?” karena takut berbohong, aku jawab. “Cewek.”
“Sepertinya, bukan hanya teman.” Katanya, dalam rangka menyerangku.
“Maksudnya, pak?” aku bertanya untuk melindungi kekekianku.
“Tidak mungkin jauh dari Makassar, membuang waktu bahkan membeli kue hanya untuk teman biasa.”
Aku pun menyerah dengan serangan dari seorang sopir. Sambil tersenyum malu aku pun menjelaskan tentang kau dan aku. Namun, aku tak memperdalam hingga mengorek tentang kita. Justru sebaliknya, aku yang menyerang balik. Dia yang akhirnya menceritakan tentang istrinya. Sempat tak direstui oleh kedua orang tua dari istrinya. Aku pun menyerangnya dengan berbagai pertanyaan sehingga saya dapat lolos dari serangannya.
Kesimpulanku padanya, hanya meminta tolong agar anaknya bisa disekolahkan terus. Dia pun berterima kasih padaku. Setelah kutelusuri lebih mendalam ternyata dia juga sekampung denganmu. Ya, termasuk aku.
Tak terasa aku sudah di depan bank BRI, tepatnya tempat kerjamu. Aku pun menelponmu kemudian menyuruhmu keluar. Aku masih ingat. Kau hanya menggunakan sarung bali untuk menutupi kepalamu. Aku tahu, kau sangat ‘takut’ jika kutegur kalau rambutmu kelihatan.
Akhirnya, aku pun menyalakan lilin yang berbentuk angka 2 dan 6. Aku pun menyanyikan sejenak lagu ‘Selamat Ulang Tahun’. Aku tahu, kau mungkin menertawaiku. Menertawai kejelekan suaraku. Namun, suaraku akan indah karena hadir dari keikhlasan. Terimalah!
***
Maaf, aku tak bisa menemanimu tahun ini. Jangan tanya mengapa? Pahamilah!
Dari kamarku ini, saya berharap kau membayangkan seolah aku membawakanmu kue ulang tahun dan berucap
SELAMAT ULANG TAHUN
BUAT NIRMALASARI
YANG KE-27
Mudah-mudah dapat menjadi yang terbaik buat keluarga, sahabat, orang di sekitar dan yang pastinya UNTUKKU!
Aku tak tahu mengapa mulut ini sulit mengucapkan cinta. Banyak perempuan sepertimu berharap kata cinta. Aku yakin itu. Namun, lelakimu ini mungkin hanya pecundang. Pecundang untuk mengungkap rasa ini. Maaf, aku berbeda dengan lelaki lain. Oya, bagaimana kabarmu sekarang? Aku harap kau baik di sana. Banyak panggilan tak terjawab darimu. Banyak SMS-mu yang tak kubalas. Apakah aku malas? Bukan, ini karena kesibukan yang aku dapat. Lebih tepatnya mungkin karena aku sok sibuk. Biarlah. Jika itu pikirmu. Bukankah semua orang punya hak, termasuk kau memberikan penafsiran tentangku.
Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah teman kantormu masih sering mengganggumu untuk menjodohkan kau dengan lelaki di sana? Aku harap tidak. Kalaupun mereka masih mengganggumu maka berterima kasihlah kepada mereka. Mereka yang bisa mengisi hari-harimu dengan cara mereka. Walau aku tahu kau tidak senang, apalagi aku.
Mestinya kau harus bahagia hari ini. Usiamu kini bukan kategori muda lagi, tapi tak juga tua. Kematangan diri harus kau makin permantap. Maaf, aku tak bisa di sana, layaknya setahun lalu. Membawakanmu kue ulang tahun dan berucap Selamat Milad. Kau masih ingat itu? Aku harap, iya. Aku harus berjuang mendapatkan kue ulang tahun dan menjahilimu bahwa hari itu aku tak bisa datang. Kau pun kecewa. Jujur, saat itu aku memang masih ragu, apakah ada ‘mobil pete-pete’ ke tempatmu. Aku yang baru kali pertama ke sana membuatku harus agak bingung dengan tempat kerjamu. Waktu itu hujan, sulit mendapatkan mobil ‘pete’pete’, pikirku. Apalagi saat itu sudah menjelang magrib. Aku masih ingat perkataanmu, “ada dua terminal yang harus ‘kita’ (Anda) lalui.” Aku sempat bingung, apakah masih ada kendaraan setelah magrib menuju tempatmu. Mulai terminal satu, menuju terminal lain.
Sepertinya keberuntungan betul-betul berpihak padaku. Sisa satu mobil. Ya, satu mobil menuju ke terminal selanjutnya. Namun, tahukah kau, aku sempat ragu apakah masih ada kendaraan saat di terminal selanjutnya. Aku sempat ingin mencari wisma untuk istirahat. Pasrah. Mungkin itu lebih pantas di pikiranku. Tapi, keinginanmu yang ingin bertemu denganku memaksaku harus ke tempatmu. Kebetulan aku sedang lapar, aku pun menuju ke warung yang ada di terminal itu. Keberuntungan berpihak lagi padaku. Satu mobil yang berwarna putih itu masih ada di terminal. Sambil berjalan menanyakan siapa pemilik mobil itu? Ternyata dia sedang makan di warung yang aku tuju.
“Wolo?” tanyanya sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Iya pak.” jawabku dengan bangga.
“Bisaki menunggu dulu?” kata sopir itu.
“Oh iye, kebetulan saya juga mau makan.” kataku sambil tersenyum padanya.
“Mauki kemana?” tanyanya.
Kita tahu bank BRI di Wolo?
“Iye. Di bagian manaki mau turun di BRI?”
“Pas di depannya saja kita turunkanka!”
“Siapa di sana?” tanyanya lagi.
Aku jawab, “teman.” Sekenanya. Tapi dalam hati berkata yang lain. Kau tahu apa itu? Sudahlah. Aku tak berharap kau tahu dalam hati ini. Sambil bercerita pada sopir.
Aku tak tahu memberikanmu apa saat hari bahagiamu itu. Aku yakin, kau tak berharap sesuatu dariku. Kamu kan tahu aku tak romantis seperti kebanyakan lelaki lain. Misalnya bunga, coklat, atau apapun yang membuat para perempuan lain meleleh apalagi ditambah ucapan seseorang rasa cinta atau sayang.
Sekali lagi maaf, aku tak seperti mereka. Aku yang tak sanggup mengucapkan sayang ataupun cinta yang mungkin sampai hari ini masih kau harapkan dariku. Soal kue yang ingin ku bawakan. Aku hanya belajar dari siswaku. Ya, dari mereka bahwa kalau ada yang ulang tahun berilah dia kue yang bisa dirasakan oleh orang banyak. Aku sepakat. Akhirnya aku pun bertanya pada sopir itu.
“Pak, dimana ada penjual kue?”
“Kue apa itu? sopir itu balik tanya.
“Kue ulang tahun pak.” kataku sekenanya
“Aii, terlambatmiki, biasanya di sana” sambil menunjuk salah satu tempat yang membuatku aku sendiri tak paham tempat itu.
Sambil menikmati kopinya, pak sopir pun bertanya pada pemilik warung.
“Bu, di mana ada penjual kue ulang tahun?” sambil mengangkat kaki kanannya.
“Aii, sudah tutup. Atau cobaki di tempat yang mengarah ke timur.” sambil menunjuk dan mengucapkan nama tempat itu. Sekali lagi aku tak tahu nama tempat itu.
Oya, aku sempat menunggu beberapa jam karena sopir itu menunggu seseorang yang katanya dia punya piutang. Aku tak ingat berapa nominalnya.
Akhirnya, sopir itu pun menyuruhku untuk naik ke mobilnya. Kau tahu, aku duduk di mana? Iya, di depan kalau aku sendiri. Aku lebih senang di depan daripada di belakang. Kecuali kamu denganku, aku pasti akan ke belakang.
Mobil itu mulai dijalankan. Aku sudah dimenangkan oleh dua keberuntungan. Aku berharap yang terakhir ini pun dipenuhi oleh Tuhan. Mendapatkan kue ulang tahun untukmu.
Beberapa menit sopir itu pun memarkir mobilnya di depan penjual kue itu. Aku pun membuka pintu mobil menuju penjualnya. Tahukah kau, aku sempat melihat satu kue yang bagiku itu sudah cukup. Ternyata, kata penjualnya, kue itu adalah kue terakhir. “Subhanallah, Alhamdulillah, Wa laa ilaaha Illalloh, Wallohu Akbar”, ucapku dalam hati. Aku menyaksikan kuasa-Nya lagi malam itu. Tanpa pikir panjang dan tanpa tawar menawar aku pun langsung mengambil dompet yang ada di kantong celanaku. Dompet yang mungkin sudah lusuh. Itu hadiah darimu. Kau masih ingat itu? Mudah-mudahan iya. Tak lupa aku membeli lilin yang ada angka 26-nya. Wah, agak berbeda bentuknya. Tapi, itu saja sudah cukup. Aku pun berpesan kepada penjualnya untuk dituliskan ‘Selamat Milad Nirmala yang ke-26’. Penjual itu pun berkata bisa. Sangat sempurna, pikirku.
Sepertinya di hari miladmu itu sangat indah. Apakah kau masih ingat, kala di mana aku yang berkata bahwa aku tak bisa datang malam itu? Nada kekecewaan melalui darimu sempat terdengar. Aku tak ada niat sedikitpun untuk melakukan kebohongan. Ini murni atas nama settingan di acara miladmu.
Dalam perjalanan menuju tempatmu yang ternyata belakangan aku tahu agak butuh waktu satu sampai satu setengah jam. Sempat sopir itu membuatku keki. Kau tahu apa itu? Sopir itu bertanya padaku, “temanta’ cewek atau cowok?” karena takut berbohong, aku jawab. “Cewek.”
“Sepertinya, bukan hanya teman.” Katanya, dalam rangka menyerangku.
“Maksudnya, pak?” aku bertanya untuk melindungi kekekianku.
“Tidak mungkin jauh dari Makassar, membuang waktu bahkan membeli kue hanya untuk teman biasa.”
Aku pun menyerah dengan serangan dari seorang sopir. Sambil tersenyum malu aku pun menjelaskan tentang kau dan aku. Namun, aku tak memperdalam hingga mengorek tentang kita. Justru sebaliknya, aku yang menyerang balik. Dia yang akhirnya menceritakan tentang istrinya. Sempat tak direstui oleh kedua orang tua dari istrinya. Aku pun menyerangnya dengan berbagai pertanyaan sehingga saya dapat lolos dari serangannya.
Kesimpulanku padanya, hanya meminta tolong agar anaknya bisa disekolahkan terus. Dia pun berterima kasih padaku. Setelah kutelusuri lebih mendalam ternyata dia juga sekampung denganmu. Ya, termasuk aku.
Tak terasa aku sudah di depan bank BRI, tepatnya tempat kerjamu. Aku pun menelponmu kemudian menyuruhmu keluar. Aku masih ingat. Kau hanya menggunakan sarung bali untuk menutupi kepalamu. Aku tahu, kau sangat ‘takut’ jika kutegur kalau rambutmu kelihatan.
Akhirnya, aku pun menyalakan lilin yang berbentuk angka 2 dan 6. Aku pun menyanyikan sejenak lagu ‘Selamat Ulang Tahun’. Aku tahu, kau mungkin menertawaiku. Menertawai kejelekan suaraku. Namun, suaraku akan indah karena hadir dari keikhlasan. Terimalah!
***
Maaf, aku tak bisa menemanimu tahun ini. Jangan tanya mengapa? Pahamilah!
Dari kamarku ini, saya berharap kau membayangkan seolah aku membawakanmu kue ulang tahun dan berucap
SELAMAT ULANG TAHUN
BUAT NIRMALASARI
YANG KE-27
Mudah-mudah dapat menjadi yang terbaik buat keluarga, sahabat, orang di sekitar dan yang pastinya UNTUKKU!