'Gila' dan 'Dapporokku'!

Tepat pukul 16.24, masih di C1/8, bunda Lytha bertanya kepadaku, "Kar, sibuk?", "Tidak bunda", jawabku sekenanya. "Baik, kita ke Erlangga!" Erlangga, sebuah tempat yang telah lama tak kusapa. Banyak buku yang aku suka di tempat itu tapi diperhadapkan dengan satu persoalan standar bahkan persoalan standar dunia. Uang. "Ke Erlangga dengan motor bututku?" sedikit ragu karena bunda Lytha sering diantar dengan sebuah mobil layaknya seorang pejabat. Atau minta diantar oleh anaknya Setuju yang lebih keren dari motorku walau dengan perusahaan yang sama, Honda. Atau anaknya sang ustadz gokil yang memiliki ciri khas ketika tersenyum. Mudal yang memiliki motor paling asyik untuk dipandang dari pada motor 'dapporokku'. Sebuah ciri khas untuk menyebut motor bututku, pikirku. "Yang jelas bisa mengantar sekalian memulangkan saya. Itu sudah cukup." Aku bangga dengan jawaban itu. Seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri yang berbasiskan Islam dan seorang guru hebat di salah satu sekolah favorit di kota anging mammiri ini.

Aku keluar dari C1/8 untuk mengambil motor 'dapporokku' sambil mengunggu mengganti pakaiannya. Aku yakin dia akan menggunakan pakaian yang lebih keren dari yang sebelumnya. Aku pun mengambil kunci motor yang berada di saku celana dan memasangkan pada ruang yang tertutup namun ketika dimasukkan kunci itu aku yakin dia akan terbuka sekaligus ketika memutar ke kanan, maka lampu yang ada dalam batok motor itu akan berwarna hijau, on. Kaki kanan pun mulai kumainkan untuk men-starter si 'dapporok'. Hanya sekali, kaki kanan ini kuturunkan untuk membunyikan 'dapporok'. 'Dapporok' memang tidak terawat oleh majikannya namun dia sangat setia. Sedikit rewel namun mudah membahagiakan majikannya. Tak lama kemudian bunda Lytha keluar dari pintu yang berwarna putih itu. Sempat kaget, karena pakaian yang kuharapkan dia gunakan itu lebih keren ternyata malah sebaliknya.
"Aku tahu yang ada dalam pikiranmu. Aku tahu kau akan menanyakan tentang penampilanku," sambil tersenyum.
Hebat juga orang ini, bisa membaca tulisan yang ada dalam pikiranku.
"Lebih tepatnya penjual sayur, bagaimana, saya miripkan dengan penjual sayur", kalimat keluar lagi dari bibir itu. Aku hanya bisa tertegun melihat aksi kocak dari bunda Lytha. Sambil menaiki 'dapporok', bunda Lytha memegang satu pundakku untuk memperbaiki posisinya. Sedikit tidak percaya dan agak kikuk ,seorang dosen yang sangat terkenal namanya mau menaiki 'dapporok' dan parahnya ditambah pakaiannya yang mirip dengan penjual sayur, aku meminjam diksi untuk mewakili penampilannya. Gila, kata itu yang selalu kugunakan untuk menyebut setiap tingkah yang bunda Lytha lakukan. Aku teringat dengan Michel Foucoult, pemikir post-strukturalisme yang terkenal dengan pemikirannya 'Power and Knowledge'. Foucoult pernah menanyakan substansi gila. Apakah gila adalah mereka yang putus urat syarafnya, penampilannya
berbeda dari kebanyakan orang, atau apa? Inilah legitimasi saya dalam menyebut bunda Lytha sebagai gila. Lebih pada penampilan dan pemikirannya.
Kaki kiriku mulai menginjakkan gigi satu sebagai tanda bahwa 'dapporok' mulai mengantar kami ke jalan Hertasning. Mendung, sepertinya mau hujan. Kemungkinan kami tidak melanjutkan perjalanan. Mannuruki Raya tepatnya, gerimis sudah menyapa. "Bunda, apakah kita melanjutkan atau kita pulang saja? tanyaku.

Kamarku, 09/06/2013

0 komentar:

Posting Komentar