Tabaria C1/8





Aku masih merindukanmu, bunda Lytha. Kritikan tajammu terhadap birokrasi sekolah yang sudah carut marut itu. Aku harap, kau pun masih dalam lindungan-Nya sekaligus merindukan kedatanganku di istana kami, Tabaria C1/8. Aku menyebut kami, bunda Lytha karena kau mampu menerimaku bersama anak-anakmu yang lain walau tak keluar dari rahimmu. Aku tahu, masih banyak ilmu kanuragan yang belum kau beri padaku. Tunggulah akan kukorek semuanya, walau semua itu tak dapat kuraih karena kesibukan masa depanku yang selalu menghalangi.
Oya bunda, bagaimana kabar beberapa saudaraku?

Si ustadz itu, lelaki yang pintar berbisnis sekaligus kepala madrasah gokil? Perlu bunda Lytha ketahui bahwa aku pernah ke istananya lebih tepatnya adalah kamar yang berukuran sekitar 5 x4 sambil memperhatikan beberapa bukunya yang bagiku kebanyakan berkaitan tentang agama dan sosilogi. Aku teringat dengan Max Weber yang terkenal dengan bukunya Sosiologi Agama. Apakah dia akan menjadi Max Weber Indonesia? Bagiku bukan bunda. Sudah banyak tokoh di Indonesia mengorelasikan agama dan sosiologi. Aku baru mengingatnya, Mudal, ya..ya..ya Mudal, lelaki yang sudah lama ingin menggantikan posisi Lucien Goldman si pakar strukturalisme genetik. Masih ingatkah bunda malam itu, kita membincang keinginan Mudal untuk menggabungkan teori sosial dengan sastra? Bunda mencoba memberikan alternatif-alternatif pertanyaan. Aku harap masih ingat. Jangan tanya mengapa? Karena aku pun tak tahu jawaban itu.
***
Bagaimana dengan anak bunda yang tampan, pakar bermain domino di antara kami? Senyumannya yang selalu merobek hati setiap perempuan yang memandangnya. Aku harap Cawakkang pernah menyapa C1/8 itu. Terakhir aku bersamanya tepat malam menjelang acara pengantin di C1/8. Kami sempat bermain dua puluh delapan kartu beberapa jam. Namun, keadaan fisik yang memaksa kami harus mengakhirinya. Cawakkang anak bunda yang paling sabar, kurang bicara tapi banyak aksi. Kesibukan di tempat kerjanya mengharuskan sejenak pamit dari lingkaran kita. Maaf, mungkin aku juga.
***
Aku ingin menanyakan pula anak kesayangan bunda yang satu ini. Dia yang kurang putih dan kurang kurus itu. Ha...ha...ha.... Aku yakin bunda Lytha tertawa ketika aku menyinggung sedikit anak kesayangan bunda itu. Setuju, betul bunda, Setuju yang aku maksud. Apakah dia masih sering ke C1/8? Aku pernah melihatnya memakai baju salah satu perusahaan di kota daeng ini. Atau memang benar dugaanku bahwa Setuju telah bekerja. Aku harap seperti itu untuk sang desainer sejati bunda. Aku hampir lupa, perutnya. Apakah bunda setuju jika aku menyebutnya Asdar Muis (seorang kritikus sastra, esais dan pembaca esai) masa depan? Aku harap setuju. Bukan pada kemampuan menulis atau bersastranya. Tapi lebih pada perutnya. Seksi. Sekali lagi, kuharap bunda Lytha setuju.

0 komentar:

Posting Komentar