skip to main |
skip to sidebar
Home »
Archives for Juni 2013
Posted by Andi Karman
Minggu, 09 Juni 2013
0 comments

Aku masih merindukanmu, bunda Lytha. Kritikan tajammu terhadap
birokrasi sekolah yang sudah carut marut itu. Aku harap, kau pun masih
dalam lindungan-Nya sekaligus merindukan kedatanganku di istana kami,
Tabaria C1/8. Aku menyebut kami, bunda Lytha karena kau mampu menerimaku
bersama anak-anakmu yang lain walau tak keluar dari rahimmu. Aku tahu,
masih banyak ilmu kanuragan yang belum
kau beri padaku. Tunggulah akan kukorek semuanya, walau semua itu tak
dapat kuraih karena kesibukan masa depanku yang selalu menghalangi.
Oya bunda, bagaimana kabar beberapa saudaraku?
Si ustadz itu, lelaki yang pintar berbisnis sekaligus kepala madrasah
gokil? Perlu bunda Lytha ketahui bahwa aku pernah ke istananya lebih
tepatnya adalah kamar yang berukuran sekitar 5 x4 sambil memperhatikan
beberapa bukunya yang bagiku kebanyakan berkaitan tentang agama dan
sosilogi. Aku teringat dengan Max Weber yang terkenal dengan bukunya
Sosiologi Agama. Apakah dia akan menjadi Max Weber Indonesia? Bagiku
bukan bunda. Sudah banyak tokoh di Indonesia mengorelasikan agama dan
sosiologi. Aku baru mengingatnya, Mudal, ya..ya..ya Mudal, lelaki yang
sudah lama ingin menggantikan posisi Lucien Goldman si pakar
strukturalisme genetik. Masih ingatkah bunda malam itu, kita membincang
keinginan Mudal untuk menggabungkan teori sosial dengan sastra? Bunda
mencoba memberikan alternatif-alternatif pertanyaan. Aku harap masih
ingat. Jangan tanya mengapa? Karena aku pun tak tahu jawaban itu.
***
Bagaimana dengan anak bunda yang tampan, pakar bermain domino di antara
kami? Senyumannya yang selalu merobek hati setiap perempuan yang
memandangnya. Aku harap Cawakkang pernah menyapa C1/8 itu. Terakhir aku
bersamanya tepat malam menjelang acara pengantin di C1/8. Kami sempat
bermain dua puluh delapan kartu beberapa jam. Namun, keadaan fisik yang
memaksa kami harus mengakhirinya. Cawakkang anak bunda yang paling
sabar, kurang bicara tapi banyak aksi. Kesibukan di tempat kerjanya
mengharuskan sejenak pamit dari lingkaran kita. Maaf, mungkin aku juga.
***
Aku ingin menanyakan pula anak kesayangan bunda yang satu ini. Dia yang
kurang putih dan kurang kurus itu. Ha...ha...ha.... Aku yakin bunda
Lytha tertawa ketika aku menyinggung sedikit anak kesayangan bunda itu.
Setuju, betul bunda, Setuju yang aku maksud. Apakah dia masih sering ke
C1/8? Aku pernah melihatnya memakai baju salah satu perusahaan di kota
daeng ini. Atau memang benar dugaanku bahwa Setuju telah bekerja. Aku
harap seperti itu untuk sang desainer sejati bunda. Aku hampir lupa,
perutnya. Apakah bunda setuju jika aku menyebutnya Asdar Muis (seorang
kritikus sastra, esais dan pembaca esai) masa depan? Aku harap setuju.
Bukan pada kemampuan menulis atau bersastranya. Tapi lebih pada
perutnya. Seksi. Sekali lagi, kuharap bunda Lytha setuju.
Tepat
pukul 16.24, masih di C1/8, bunda Lytha bertanya kepadaku, "Kar,
sibuk?", "Tidak bunda", jawabku sekenanya. "Baik, kita ke Erlangga!"
Erlangga, sebuah tempat yang telah lama tak kusapa. Banyak buku yang aku
suka di tempat itu tapi diperhadapkan dengan satu persoalan standar
bahkan persoalan standar dunia. Uang. "Ke Erlangga dengan motor
bututku?" sedikit ragu karena bunda Lytha sering diantar dengan sebuah
mobil layaknya seorang pejabat. Atau minta diantar oleh anaknya Setuju
yang lebih keren dari motorku walau dengan perusahaan yang sama, Honda.
Atau anaknya sang ustadz gokil yang memiliki ciri khas ketika tersenyum.
Mudal yang memiliki motor paling asyik untuk dipandang dari pada motor
'dapporokku'. Sebuah ciri khas untuk menyebut motor bututku, pikirku.
"Yang jelas bisa mengantar sekalian memulangkan saya. Itu sudah cukup."
Aku bangga dengan jawaban itu. Seorang dosen di salah satu perguruan
tinggi negeri yang berbasiskan Islam dan seorang guru hebat di salah
satu sekolah favorit di kota anging mammiri ini.
Aku keluar
dari C1/8 untuk mengambil motor 'dapporokku' sambil mengunggu mengganti
pakaiannya. Aku yakin dia akan menggunakan pakaian yang lebih keren dari
yang sebelumnya. Aku pun mengambil kunci motor yang berada di saku
celana dan memasangkan pada ruang yang tertutup namun ketika dimasukkan
kunci itu aku yakin dia akan terbuka sekaligus ketika memutar ke kanan,
maka lampu yang ada dalam batok motor itu akan berwarna hijau, on. Kaki
kanan pun mulai kumainkan untuk men-starter si 'dapporok'. Hanya sekali,
kaki kanan ini kuturunkan untuk membunyikan 'dapporok'. 'Dapporok'
memang tidak terawat oleh majikannya namun dia sangat setia. Sedikit
rewel namun mudah membahagiakan majikannya. Tak lama kemudian bunda
Lytha keluar dari pintu yang berwarna putih itu. Sempat kaget, karena
pakaian yang kuharapkan dia gunakan itu lebih keren ternyata malah
sebaliknya.
"Aku tahu yang ada dalam pikiranmu. Aku tahu kau akan menanyakan tentang penampilanku," sambil tersenyum.
Hebat juga orang ini, bisa membaca tulisan yang ada dalam pikiranku.
"Lebih tepatnya penjual sayur, bagaimana, saya miripkan dengan penjual
sayur", kalimat keluar lagi dari bibir itu. Aku hanya bisa tertegun
melihat aksi kocak dari bunda Lytha. Sambil menaiki 'dapporok', bunda
Lytha memegang satu pundakku untuk memperbaiki posisinya. Sedikit tidak
percaya dan agak kikuk ,seorang dosen yang sangat terkenal namanya mau
menaiki 'dapporok' dan parahnya ditambah pakaiannya yang mirip dengan
penjual sayur, aku meminjam diksi untuk mewakili penampilannya. Gila,
kata itu yang selalu kugunakan untuk menyebut setiap tingkah yang bunda
Lytha lakukan. Aku teringat dengan Michel Foucoult, pemikir
post-strukturalisme yang terkenal dengan pemikirannya 'Power and
Knowledge'. Foucoult pernah menanyakan substansi gila. Apakah gila
adalah mereka yang putus urat syarafnya, penampilannya
berbeda dari
kebanyakan orang, atau apa? Inilah legitimasi saya dalam menyebut bunda
Lytha sebagai gila. Lebih pada penampilan dan pemikirannya.
Kaki
kiriku mulai menginjakkan gigi satu sebagai tanda bahwa 'dapporok' mulai
mengantar kami ke jalan Hertasning. Mendung, sepertinya mau hujan.
Kemungkinan kami tidak melanjutkan perjalanan. Mannuruki Raya tepatnya,
gerimis sudah menyapa. "Bunda, apakah kita melanjutkan atau kita pulang
saja? tanyaku.
Kamarku, 09/06/2013